Lenong adalah kesenian
teater tradisional khas Betawi yang berbentuk cerita (lakon) dan dibawakan
dalam dialek Betawi. Cerita yang disampaikan biasanya mengandung pesan moral.
Lenong sebagai tontonan sudah berkembang sejak 1920-an. Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke
kampung. Pertunjukan diadakan di tempat terbuka tanpa panggung. Saat
pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton
sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai
dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan
seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni
menjadi tontonan panggung.
Kesenian
tradisional ini juga dikatakan teater bangsawan atau istana karena diiringi
musik Gambang Kromong dengan alat-alat musik
seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta
alat musik budaya Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Dalam
pertunjukkannya, lenong menampilkan sebuah cerita atau lakon, dengan dilengkapi
gerak dan lagu serta lawakan yang dapat membuat penonton tertawa. Lakon
dimainkan babak demi babak dan diselingi musik serta lagu. Jumlah pemainnya
tidak terbatas atau bebas. Sementara perlengkapan dan busananya disesuaikan
dengan jalan cerita yang dimainkan. Pada pertunjukkan
lenong, pemain pria disebut panjak dan pemain wanita disebut ronggeng.
Terdapat dua jenis lenong, yaitu Lenong
Denes dan Lenong Preman. Dalam Lenong Denes, aktor dan aktrisnya mengenakan busana formal
dan kisahnya berlatar kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, seperti kisah-kisah 1001 malam. Sedangkan dalam Lenong Preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara
dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari atau kisah rakyat yang
ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah
yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah. Selain itu, bahasa yang digunakan
kedua jenis lenong ini juga berbeda. Lenong Denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu
tinggi), sedangkan Lenong Preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Pada perkembangannya, Lenong Preman lebih populer dan berkembang dibandingkan Lenong Denes. Hal itu
dikarenakan bahasa yang digunakan Lenong
Denes tampak kaku sehingga sulit dimengerti penonton, termasuk para seniman lenong sendiri. Kesan humor pun jarang tampak pada pertunjukkan Lenong Denes tersebut. Sementara dialog
yang terkandung pada Lenong Preman terkesan
kasar, kurang sopan, dan bahkan porno. Intinya, Lenong Denes diorientasikan
pada kaum elit bangsa ini yang hidup dalam kemapanan. Sedangkan Lenong Preman lebih ditujukan pada
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sumber :