Pages

Wednesday, January 22, 2014

Lenong Betawi

Lenong adalah kesenian teater tradisional khas Betawi yang berbentuk cerita (lakon) dan dibawakan dalam dialek Betawi. Cerita yang disampaikan biasanya mengandung pesan moral. Lenong sebagai tontonan sudah berkembang sejak 1920-an. Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di tempat terbuka tanpa panggung. Saat pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.







Kesenian tradisional ini juga dikatakan teater bangsawan atau istana karena diiringi musik Gambang Kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik budaya Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Dalam pertunjukkannya, lenong menampilkan sebuah cerita atau lakon, dengan dilengkapi gerak dan lagu serta lawakan yang dapat membuat penonton tertawa. Lakon dimainkan babak demi babak dan diselingi musik serta lagu. Jumlah pemainnya tidak terbatas atau bebas. Sementara perlengkapan dan busananya disesuaikan dengan jalan cerita yang dimainkan. Pada pertunjukkan lenong, pemain pria disebut panjak dan pemain wanita disebut ronggeng.
Terdapat dua jenis lenong, yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Dalam Lenong Denes, aktor dan aktrisnya mengenakan busana formal dan kisahnya berlatar kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, seperti kisah-kisah 1001 malam. Sedangkan dalam Lenong Preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari atau kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah. Selain itu, bahasa yang digunakan kedua jenis lenong ini juga berbeda. Lenong Denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan Lenong Preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Pada perkembangannya, Lenong Preman lebih populer dan berkembang dibandingkan Lenong Denes. Hal itu dikarenakan bahasa yang digunakan Lenong Denes tampak kaku sehingga sulit dimengerti penonton, termasuk para seniman lenong sendiri. Kesan humor pun jarang tampak pada pertunjukkan Lenong Denes tersebut. Sementara dialog yang terkandung pada Lenong Preman terkesan kasar, kurang sopan, dan bahkan porno. Intinya, Lenong Denes  diorientasikan pada kaum elit bangsa ini yang hidup dalam kemapanan. Sedangkan Lenong Preman lebih ditujukan pada kehidupan masyarakat sehari-hari.










Sumber :



0 comments:

Post a Comment